Beranda | Artikel
Kaidah Ke. 22 : Shulh (Berdamai) Dengan Sesama Kaum Muslimin Itu Boleh
Sabtu, 20 April 2013

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Dua

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً

Shulh (berdamai) Dengan Sesama Kaum Muslimin Itu Boleh Kecuali Perdamaian Yang Menghalalkan Suatu Yang Haram Atau Mengharamkan Suatu Perkara Yang Halal

Kaidah mulia yang sangat bermanfaat ini diambil dari lafadz hadits yang telah dishahihkan oleh beberapa ahli hadits. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Berdamai dengan sesama muslimin itu diperbolehkan kecuali perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang halal. Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.[1]

Hadits ini menjelaskan bahwa seluruh macam shulh (perdamaian) antara kaum muslimin itu boleh dilakukan, selama tidak menyebabkan pelakunya terjerumus ke dalam suatu yang diharamkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasûl-Nya.

Berikut beberapa contoh penerapan kaidah diatas :

1. Shulhul iqrâr atau as-shulh ma’al iqrâr (perdamaian yang disertai pengakuan)
Misalnya, seseorang melihat barang yang diakuinya sebagai milik dia, misalnya jam, namun jam itu berada di tangan orang lain. lalu dia mengatakan : “Jam ini milikku !” Orang yang sedang membawa jam itu mengatakan : “Ya, ini memang jammu. Namun aku ingin berdamai denganmu dengan cara memberikanmu sejumlah uang lalu jam ini menjadi milikku.” Jika si pemilik setuju, maka shulh ini sah dan inilah disebut as-shulh ma’al iqrâr atau shulhul iqrâr.

Apabila Ahmad menyetujui tawaran Zaid tersebut maka ini diperbolehkan. Ini termasuk kategori Shulhul Iqrâr.

2. Shulhul inkâr atau as-shulh ma’al inkâr (perdamaian yang disertai pengingkaran)
Contohnya, kasus jam diatas. Jika yang membawa jam itu mengingkari pengakuan orang itu dengan mengatakan : “Jam ini bukan milikmu tapi milikku.” Kemudian dia khawatir permasalahan ini akan berkepanjangan, akhirnya dia ingin menyelesaikannya dengan mengajak damai. Dia mengatakan : “Kita damai saja, saya akan memberikanmu sejumlah uang dan jam ini tetap di tanganku sebagai milikku.” Jika orang pertama setuju, maka shulh ini sah dan disebut dengan shulhul inkâr atau as-shulh ma’al inkâr. Melihat dalam peristiwa ini ada indikasi bohong, syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah mengatakan : “Bagi yang berbohong, maka akadnya tidak sah.”

3. Berdamai dalam khiyâr ‘aib (hak pembeli untuk membatalkan transaksi karena ada cacat pada barang)
Apabila seseorang membeli sesuatu dengan harga tertentu, kemudian ia mengetahui ada cacat pada barang itu dan ia ingin mengembalikannya kepada penjualnya. Ketika mengembalikan barang tersebut, si penjual mengatakan, “Bagaimana jika barang ini tidak dikembalikan dan aku akan berikan ganti rugi kepadamu berupa uang sebesar sekian sebagai kompensasi dari kerusakan tersebut ?”

Apabila si pembeli setuju tawaran ini, maka ini termasuk kategori berdamai yang diperbolehkan.

4. Berdamai dalam khiyâr Syarth (hak pembeli untuk membatalkan atau meneruskan transaksi dengan syarat-syarat tertentu yang telah disepakati antara penjual dan pembeli)
Misalnya, Ahmad hendak membeli rumah dari Zaid dengan kesepakatan si pembeli diberi waktu sepekan. Dalam waktu ini, dia berhak untuk membatalkan atau meneruskan jual beli tersebut. Namun kemudian, sebelum lewat waktunya, Zaid mendatangi Ahmad dan mengatakan, “Bagaimana jika jual beli ini kita jadikan dan kita tuntaskan saja tanpa menunggu waktunya habis ? Sebagai kompensasi, aku akan berikan kepadamu sejumlah uang.”

Apabila Zaid menerima tawaran Ahmad ini, maka shulh ini termasuk kategori shulh (berdamai) yang diperbolehkan dan masuk dalam keumuman kaidah di atas.

5. Berdamai dalam hak syuf’ah.
Apabila ada suatu barang dimiliki secara bersama oleh Ahmad dan Zaid, misalnya tanah atau rumah. Kemudian Ahmad menjual bagiannya kepada Yasir. Dalam hal ini Zaid bisa menggunakan hak syuf’ahnya untuk membatalkan jual beli tersebut. Zaid berhak menarik bagian yang sudah dijual Ahmad dan merubah statusnya menjadi milik Zaid atau membelinya dengan harga yang sudah disepakati oleh Ahmad dan Yasir. Dalam peristiwa ini, saat Zaid akan menggunakan hak syuf’ahnya, Yasir berkata, “Bagaimana jika engkau tidak menggunakan hak syuf’ahmu ? Karena aku ingin memiliki barang ini. Sebagai konsekuensinya aku akan memberikan sejumlah uang kepadamu.”
Apabila Zaid setuju dengan tawaran Yasir ini, maka ini termasuk kategori shulh (berdamai) yang diperbolehkan.

6. Berdamai dalam diyât pembunuhan atau yang lain.
Apabila terjadi suatu pembunuhan yang dilakukan secara sengaja dan zalim, maka keluarga korban bisa menuntut hukum qishâsh atau menuntut diyât (ganti rugi atas pembunuhan tersebut). Jika menuntut diyât, maka jumlahnya telah ditentukan dalam syari’at yaitu sejumlah 100 ekor onta dengan memenuhi berbagai ketentuan lainnya. Dalam hal ini, apabila keluarga korban mengusulkan kepada keluarga si pembunuh supaya memberikan diyât lebih dari 100 ekor lalu keluarga si pembunuh menyetujuinya, maka ini termasuk shulh (berdamai) yang diperbolehkan.

7. Perdamaian dalam hutang yang tidak diketahui jumlahnya.
Apabila Ahmad berhutang sejumlah uang kepada Zaid. Setelah beberapa waktu, keduanya sama-sama lupa nominalnya. Dalam kondisi ini, apabila Zaid mengatakan, “Bagaimana kalau kita tentukan saja nominalnya yaitu Rp. 100.000,-, jika nominal sebenarnya lebih dari itu, maka aku merelakannya, namun jika nominal sebenarnya kurang dari seratus ribu, maka engkau yang merelakannya ?” Apabila Ahmad menerima tawaran Zaid tersebut maka ini termasuk shulh (perdamaian) yang diperbolehkan.

8. Perdamaian dalam hak-hak suami isteri.
Apabila seorang isteri khawatir akan diceraikan oleh suaminya, kemudian si isteri tersebut berkata kepada suaminya, “Aku ingin tetap menjadi isterimu, sebagai konsekuensinya aku relakan nafkahku dikurangi.” Apabila si suami setuju, maka ini termasuk perdamaian yang diperbolehkan, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka. [an Nisâ’/4:128]

Demikian pula, seluruh perdamaian yang dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan dan persengketaan di antara manusia, maka hal tersebut diperbolehkan dan masuk dalam keumuman kaidah ini, baik lewat perantara hakim atau yang lain. Kesimpulannya, hukum asal dari perdamaian itu adalah boleh selama tidak menyebabkan pelakunya terjerumus dalam perkara yang haram.

Diantara shulh (perdamaian) yang tidak diperbolehkan karena ada unsur haram di dalamnya dapat diketahui dari beberapa contoh berikut :

1. Apabila Ahmad mempunyai hutang uang sejumlah Rp. 100.000 kepada Zaid. Setelah beberapa waktu, Zaid lupa nominal, sementara Ahmad masih ingat nominalnya, tetapi ia tidak mau memberitahukannya kepada Zaid. Dalam hal ini, apabia Ahmad berkata kepada Zaid, “Aku juga lupa berapa jumlah hutangku itu. Bagaimana kalau kita tentukan saja jumlahnya Rp. 50.000 ? Aku rela jika jumlah hutang sebenarnya lebih kecil dari itu. Dan relakanlah jika jumlah hutang sebenarnya lebih besar dari itu.” Kemudian Zaid menyetujui tawaran Ahmad tersebut. Maka perdamaian tersebut haram bagi Ahmad, karena ia telah menghalalkan perkara yang haram.

2. Apabila Ahmad mempunyai hutang uang sejumlah Rp. 100.000 kepada Zaid, dengan jangka waktu pengembalian selama satu pekan. Setelah berlalu satu pekan, ternyata Ahmad belum bisa melunasi hutangnya. Kemudian Ahmad berkata kepada Zaid, “Berilah tenggang waktu kepadaku selama tiga hari untuk melunasi hutangku. Dan sebagai konsekuensinya, aku akan membayar hutangku sebesar Rp 100.000 dengan tambahan Rp. 20.000 untukmu.” Jika Zaid setuju, maka perdamaian seperti itu tidak diperbolehkan karena mengandung riba.
Wallâhu a’lam.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hadits الْمُسْلِمُوْنَ عِنْدَ شُُرُوْطِهِمْ diriwayatkan oleh imam Bukhâri 4/451 secara mu’allaq dengan shighah jazm. Dan diriwayatkan secara maushul oleh Imam Ahmad 2/366, Abu Dâwud no. 3594, Ibnu Jârud no. 637, al Hâkim 2/45, Ibnu ‘Adiy no. 2088 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu lewat jalur riwayat Katsîr bin Zaid dari Walîd bin Rabâh. Dan dalam riwayat Imam Tirmidzi no. 1370 dari Katsîr bin Abdillah bin ‘Amr bin ‘Auf al Muzaniy dari bapaknya dari kakeknya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Lafadz ini dibawakan juga oleh Thabrani dalam al Kabîr no. 30, Ibnu ‘Adiy no. 2081, Dâruquthni 3/27, al Baihaqi 6/79, Ibnu Mâjah no. 2353 tanpa kalimat yang akhir. Hadits ini dikuatkan oleh hadits ‘Aisyah, Anas, Abdullâh bin Umar, Râfi’ bin Khadîj Rahiyallahu anhum. Dengan mengumpulkan seluruh jalur periwayatannya, maka hadits diatas itu tsâbit atau sah.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3587-kaidah-ke-22-shulh-berdamai-dengan-sesama-kaum-muslimin-itu-boleh.html